KOMERSIALISASI
PENDIDIKAN DALAM
LEMAHNYA LEMBAGA
PENDIDIKAN
Saya masih ingat , saat kawan
saya menyampaiakan peluang bisnis yang tak akan surut,. Apa itu ?
Bisnis pendidikan dan bisnis
kesehatan . mengapa demikian..?
Sekarang ini tingkat kesadaran
orang tua mendudukkan posisi ANAK sebagai asset jangka panjang, dan pendidikan untuk menjamin masa depan anak.
Dan beberapa orang telah memulainya dari usia dini, anak sudah dihadapkan
lingkungan yang mendidik. Tren atau kesadaran mencetak anak pintar adalah keharusan.
Kesehatan juga demikian , saat
berkembangnya jenis penyakit, berkembang pula produk penawar segala penyakit. Nilai
kesahatan menjadi harga luar biasa berbanding lurus dengan produktifitas kerja.
Dan produktifitas kerja menjadi mutlak untuk terus bertahan dalam situasi dikuranginya
subsudi BBM
Lembaga pendidikan formal ( SD,
SMP, SMU dll ) lahirnya jauh lebih awal dari saya lahir ( 1980 ). Guru – guru
yang mengajarpun jauh lebih dulu kita, dan usia seorang guru dengan peserta
didiknya rata-rata berkisar 10 – 40 tahun. Namun mengapa keluaran kwalitas
lembaga pendidikan formal tersebut sering kali dinilai tidak maksimal.
Durasi waktu anak belajar di
sekolah tidak cukup lagi untuk mengenyam seluruh mata pelajaran yang
disampaikan oleh guru. Belum lagi kwalitas penyampaian guru kurang memadahi.
Alih alihnya anak menambahkan jam belajarnya diluar lembaga bimbingan belajar.
Ini jelas lahirnya ketidak percaaan lembaga pendidikan formal.
Sebenarnya dari dulu saya kurang
sreg dengan lahirnya lembaga bimbingan belajar, ini berarti sekolah formal
tidak mampu membimbing peserta didik untuk belajar.
Yang lebih hebat adalah
propaganda lembaga bimbingan belajar memberikan “garansi tidak lulus uang
kembali”. Mengapa lembaga pendidikan formal tidak berani seperti itu…bahkan
pernah ada fenomena Guru membuka les
prifat di rumahnya yang berbuntut mendorong muridnya untuk belajar kepadanya,
dan terjadi diskriminatif kwalitas pengajaran yang disampaikan di sekolah
dengan apa yang disampaikan di rumahnya ( les prifatnya )
Dorongan
pemerintah untuk meningkatkan pendidikan melaui kebijakan system sertifikasi
guru / peningkatan kesejahteraan guru masih belum menyentuh permasalahan
subsantsi pendidikan. produktifitas dan kwalitas guru hanya dipantau
dengan jam tayang mengajar, dan Kompetensi
guru perlu ditingkatkan beriring dengan perkembangan pendidikan baik guru
generasi SEPUH maupun guru muda.
Beberapa kasus
rekrutmen guru Bantu, guru honorer yang dilakukan sekolah tidak didasarkan akan
kompetensi guru cenderung system ‘dulur dewe, bolo dewe”.padahal rekrutmen
tersebut sebagai entri point beranjak data base proses panjang calon PNS yang
tentunya akan menjadi penerus penganjar kedepan.
Beberapa
pemerintah daerah mencoba menerapkan perlakuan yang berbeda, peserta didik dari
wilayahnya diperhatikan dibanding dari peserta didik luar daerah, diskriminatif
tentunya namun hal ini memberikan sinyal kepada daerah lain untuk mendorong
peningkatan kawalitas pendidikan. Selain itu juga daerah harus melakukan pola
penyebaran guru-guru berkwalitas pendidikan lebih merata. Sehingga tidak terkesan sekolah di A lebih
bonafit disbanding sekolah L. Ini jelas sebuah kesenjangan produk kebijakan
penyelenggaraan pendidikan. Lebih – lebih lebelitas sekolah tarap
internasional.
Kita mendorong
pekerja pendidikan terus optimal meningkatkan kapasitasnya agar tidak terkesan
“NGUGURNE
KEWAJIBAN” saja, dan berharap suatu saat dimana peserta didik merasa
cukup belajar di sekolah bersama bapak / ibu gurunya tercinta dan tidak lagi
menambah jam belajarnya di Lembaga Bimbingan belajar..
Anak cukup
belajar secara mandiri mengembangkan keilmuannya di rumahnya sendiri dan
kemudian diumpan balikkan di sekolah sebagai proses dinamis antara guru dan
anak. BRAVO PENDIDIKAN INDONESIA…selamat HARDIKNAS
pendidikan tidak akan memberikan satu kepuasan meski 20 % APBN telah dipenuhi, jika birokrasi pendidikan memberikan peluang untuk koruptif.....
BalasHapus