Kamis, 03 Mei 2012

MERENUNG di tepi waktu HARDIKNAS


KOMERSIALISASI PENDIDIKAN DALAM
LEMAHNYA LEMBAGA PENDIDIKAN

Saya masih ingat , saat kawan saya menyampaiakan peluang bisnis yang tak akan surut,. Apa itu ?
Bisnis pendidikan dan bisnis kesehatan . mengapa demikian..?
Sekarang ini tingkat kesadaran orang tua mendudukkan posisi ANAK sebagai asset jangka panjang,  dan pendidikan untuk menjamin masa depan anak. Dan beberapa orang telah memulainya dari usia dini, anak sudah dihadapkan lingkungan yang mendidik. Tren atau kesadaran mencetak anak pintar adalah keharusan.
Kesehatan juga demikian , saat berkembangnya jenis penyakit, berkembang pula produk penawar segala penyakit. Nilai kesahatan menjadi harga luar biasa berbanding lurus dengan produktifitas kerja. Dan produktifitas kerja menjadi mutlak untuk terus bertahan dalam situasi dikuranginya subsudi BBM

Lembaga pendidikan formal ( SD, SMP, SMU dll ) lahirnya jauh lebih awal dari saya lahir ( 1980 ). Guru – guru yang mengajarpun jauh lebih dulu kita, dan usia seorang guru dengan peserta didiknya rata-rata berkisar 10 – 40 tahun. Namun mengapa keluaran kwalitas lembaga pendidikan formal tersebut sering kali dinilai tidak maksimal.
Durasi waktu anak belajar di sekolah tidak cukup lagi untuk mengenyam seluruh mata pelajaran yang disampaikan oleh guru. Belum lagi kwalitas penyampaian guru kurang memadahi. Alih alihnya anak menambahkan jam belajarnya diluar lembaga bimbingan belajar. Ini jelas lahirnya ketidak percaaan lembaga pendidikan formal. 
Sebenarnya dari dulu saya kurang sreg dengan lahirnya lembaga bimbingan belajar, ini berarti sekolah formal tidak mampu membimbing peserta didik untuk belajar.
Yang lebih hebat adalah propaganda lembaga bimbingan belajar memberikan “garansi tidak lulus uang kembali”. Mengapa lembaga pendidikan formal tidak berani seperti itu…bahkan pernah ada fenomena Guru  membuka les prifat di rumahnya yang berbuntut mendorong muridnya untuk belajar kepadanya, dan terjadi diskriminatif kwalitas pengajaran yang disampaikan di sekolah dengan apa yang disampaikan di rumahnya ( les prifatnya )

Dorongan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan melaui kebijakan system sertifikasi guru / peningkatan kesejahteraan guru masih belum menyentuh permasalahan subsantsi pendidikan. produktifitas dan kwalitas guru hanya dipantau dengan  jam tayang mengajar, dan Kompetensi guru perlu ditingkatkan beriring dengan perkembangan pendidikan baik guru generasi SEPUH maupun guru muda.
Beberapa kasus rekrutmen guru Bantu, guru honorer yang dilakukan sekolah tidak didasarkan akan kompetensi guru cenderung system ‘dulur dewe, bolo dewe”.padahal rekrutmen tersebut sebagai entri point beranjak data base proses panjang calon PNS yang tentunya akan menjadi penerus penganjar kedepan.
Beberapa pemerintah daerah mencoba menerapkan perlakuan yang berbeda, peserta didik dari wilayahnya diperhatikan dibanding dari peserta didik luar daerah, diskriminatif tentunya namun hal ini memberikan sinyal kepada daerah lain untuk mendorong peningkatan kawalitas pendidikan. Selain itu juga daerah harus melakukan pola penyebaran guru-guru berkwalitas pendidikan lebih merata.  Sehingga tidak terkesan sekolah di A lebih bonafit disbanding sekolah L. Ini jelas sebuah kesenjangan produk kebijakan penyelenggaraan pendidikan. Lebih – lebih lebelitas sekolah tarap internasional.

Kita mendorong pekerja pendidikan terus optimal meningkatkan kapasitasnya agar tidak terkesan “NGUGURNE KEWAJIBAN” saja, dan berharap suatu saat dimana peserta didik merasa cukup belajar di sekolah bersama bapak / ibu gurunya tercinta dan tidak lagi menambah jam belajarnya di Lembaga Bimbingan belajar..
Anak cukup belajar secara mandiri mengembangkan keilmuannya di rumahnya sendiri dan kemudian diumpan balikkan di sekolah sebagai proses dinamis antara guru dan anak. BRAVO PENDIDIKAN INDONESIA…selamat HARDIKNAS

1 komentar:

  1. pendidikan tidak akan memberikan satu kepuasan meski 20 % APBN telah dipenuhi, jika birokrasi pendidikan memberikan peluang untuk koruptif.....

    BalasHapus